PALEMBANG- Perilaku pemilih di Sumatera Selatan jelang Pilgub 2024 menunjukkan pola yang menarik namun mengkhawatirkan. Para pemilih masih cenderung menentukan pilihan berdasarkan faktor-faktor non-substansial seperti kesamaan suku, hubungan kekerabatan, dan gimmick politik, bukan program kerja atau rekam jejak calon.
“Saat ini, saya percaya bahwa pemilih hanya melihat calon berdasarkan suku, kekeluargaan, dan hal-hal lain yang tidak penting. Seharusnya, sejak awal para calon dan partai pengusung sudah mulai memunculkan ide dan gagasan untuk mendorong pemilih melihat kualitas calon secara rasional,” ujar Pengamat politik UIN Raden Fatah Palembang, Yulion Zalpa, Sabtu (31/8/2024).
Yulion menjelaskan bahwa pola perilaku ini bukanlah fenomena baru. Berdasarkan hasil riset dan pengamatan terhadap beberapa kontestasi sebelumnya, mayoritas pemilih di Indonesia.
“Termasuk di Sumsel, mereka lebih mempertimbangkan emosi dan perasaan daripada kinerja atau program,” katanya.
Menurut Yulion, perilaku ini tidak sepenuhnya salah pemilih, tetapi juga akibat dari strategi politik yang diterapkan oleh para calon dan partai.
“Karena mereka terus dihadapkan pada masalah yang tidak penting, pemilih kita sebenarnya “dipaksa” untuk tidak rasional. Ini adalah masalah yang kompleks dan mengakar, terutama sejak pemilu langsung diterapkan. Partai politik harusnya lebih berperan dalam mensosialisasikan politik yang substansial dan merekrut calon kepala daerah berdasarkan kualitas, bukan sekadar popularitas,” jelas Yulion.
Ia menyoroti bahwa partai politik seharusnya mengambil peran utama dalam membangun kesadaran politik yang lebih rasional dengan menyediakan informasi yang benar tentang visi dan misi calon.
Selain itu, Yulion juga mengkritisi penyelenggara pemilu yang dinilai kurang memfasilitasi sosialisasi dan kampanye yang lebih substantif.
Namun, di tengah tantangan tersebut, pemilih muda dan milenial dianggap sebagai harapan baru. Generasi ini memiliki akses yang lebih luas terhadap informasi dan peluang lebih besar untuk melakukan riset terhadap para calon.
Meski begitu, Yulion tidak menutup mata terhadap kenyataan bahwa ada pula pemilih muda yang skeptis terhadap politik.
“Banyak pemilih muda dan milenial skeptis karena mereka percaya bahwa politik tidak berdampak besar pada masyarakat. Mereka melihat pemilu hanya sebagai formalitas, sehingga tidak banyak yang peduli. Namun, dengan derasnya informasi di era digital, kita berharap generasi muda bisa mendapatkan informasi yang lebih objektif dan terlibat aktif,” tambah Yulion.
Menurutnya, perlu ada upaya dari berbagai pihak, termasuk partai politik, pemerintah, dan penyelenggara pemilu, untuk lebih melibatkan generasi muda dalam proses demokrasi.
“Pengoptimalkan berbagai platform digital, diharapkan pemilih pemula dan milenial akan lebih tertarik pada isu-isu substantif yang berdampak langsung pada kehidupan mereka,” katanya. (Eps)
Komentar