LAHAT- Berada diantara 3,25° hingga 4,25° LS dan 102,37° hingga 103° BT, dengan curah hujan yang tinggi berkisar antara 2.193 mm hingga 4.747 mm per tahun, buat Kabupaten Lahat jadi wilayah yang ideal untuk pertumbuhan tanaman kopi. Wajar saja jika kopi, jadi salah satu komoditi unggulan warga Kabupaten Lahat.
Keberadaan tanah yang subur didominasi oleh jenis tanah latosol, litosol dan podzolik, yang dipengaruhi oleh aktivitas vulkanis dari Gunung Dempo ini, rupanya ikut berdampak baik pada kualitas dan cita rasa kopi yang dihasilkan.
Dinas Perkebunan Kabupaten Lahat mencatat, tahun 1911 awal mula kopi masuk ke Lahat dibawa oleh Belanda, persisnya di di simpang padang karet Pagaralam, yang dahulu masih wilayah Lahat. Awalnya hanya jenis Arabika, namun semuanya terserang penyakit karat daun. Setelah diteliti rupanya, struktur tanah di Lahat lebih cocok untuk kopi jenis Robusta.
Berdasarkan data ATAP tahun 2023, dari 45.409 Kepala Keluarga petani kopi, ada 43.430 hektar tanaman kopi yang telah menghasilkan, ditambah 7.423 hektar tanaman kopi yang belum menghasilkan, dengan hasil produksi selama setahun sebanyak 23.195,8 ton.
Dari total itu, mayoritas merupakan kopi jenis rabusta. Untuk kopi jenis Arabika, tercatat hanya ada sekitar 10 hektar. Meliputi 7 hektar di wilayah Desa Tunggul Bute, Kecamatan Kota Agung, 3 hektar sisanya di Kecamatan Muara Payang.
“Karena wilayah kita mayoritas berada dibawah 1.000 MDPL, jadi cocok untuk jenis Robusta. Selain Robusta dan Arabika, ada satu jenis lagi yakni jenis Liberika, warga sering sebut kopi tupak, kopi nangke, tapi jenis ini tidak populer. Kopi jenis liberika biasanya jadi tanaman induk saja,” terang Kepala Dinas Perkebunan Lahat, Vivi Anggraini SSTP, melalui Kabid Produksi, Okta Dinjaya, Selasa (15/4/2025).
Okta menambahkan, dari total produksi saat ini, hasil panen kopi di Lahat tergolong belum maksimal. Beragam faktor jadi penyebabnya, mulai dari bibit, pemupukan dan perawatan. Sedangkan untuk sambung pucuk, pemerintah daerah belum bisa salurkan program tersebut, ditambah masih kurangnya tenaga penyuluh, sehingga petani hanya bisa melakukannya secara mandiri.
“Hampir 70 persen petani kopi di Kecamatan Tanjung Sakti Pumi-Pumu, sudah lakukan sambung pucuk. Karena itu hasil produksi paling tinggi berada di kecamatan itu. Rata-rata masih gunakan entres lokal,” jelasnya.
Disinggung terkait tren pengelolaan, Okta menyebut, saat ini sudah ada peralihan trend dalam pengelolaan. Jika dahulu masyarakat mengelola bini kopi secara manual, saat ini petani hingga penggiat kopi lebih memilih menggunakan mesin roasting kopi. Karena, selain menghemat waktu dan tenaga, juga bisa menghasilkan bubuk kopi berkualitas dengan kematangan merata.
“Kalau untuk pengelolaan, itu tergantung masing-masing penikmat kopi. Namun yang jelas, kopi Robusta Lahat miliki cita rasa sendiri yang sudah diakui, dibuktikan dengan sudah adanya Sertifikat IG Kopi Robusta Lahat,” sampainya.
Komentar