PALEMBANG- Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Selatan (DPRD Sumsel) H Chairul S Matdiah, SH, MHKes, meminta Penjabat (Pj) Gubernur Sumsel Elen Setiadi untuk menjaga netralitas menjelang Pilkada Serentak, 27 November mendatang.
Chairul meminta agar tidak ada manuver dan intrik politik yang berpotensi membikin gaduh.
“Sebagai perwakilan Pemerintah Pusat di daerah, sudah seharusnya Pj Gubernur menjadi panutan dan contoh bagi jajaran Organisasi Perangkat Daerah (OPD) termasuk bagi Pj Bupati dan Pj Walikota agar Pilkada ini berjalan dengan demokratis jauh dari intervensi pemerintah,” ujar Chairul kepada wartawan, Sabtu (28/9/2024).
Kritikan tersebut bukan tanpa alasan karena berhembus isu Pj Gubernur Elen Setiadi akan melakukan pergantian para pejabat eselon 2 di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumsel secara besar-besaran, dalam waktu dekat yang diduga syarat dengan kepentingan politik.
“Pj Gubernur memang memiliki hak memberhentikan atau melantik pejabat. Tetapi saatnya tidak tepat jika dilakukan menjelang Pilkada yang sudah di depan mata. Jika isu yang berhembus itu benar, dikhawatirkan justru membikin gaduh di jajaran OPD dan Biro di lingkungan Pemprov Sumsel yang bermuara pada tidak maksimalnya pelayanan pada masyarakat,” kata mantan Advokat itu.
Chairul berharap Pj Gubernur Sumsel Elen Setiadi menjalankan tugas untuk memastikan suksesnya pelaksanaan Pilkada Serentak, baik itu Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur serta Pemilihan Kepala Daerah di 17 Kabupaten/Kota Se-Sumsel.
“Sumatera Selatan yang selama ini sangat kondusif. Jangan sampai ternodai dengan manuver atau intrik politik yang justru dibuat sendiri oleh seorang Pj Gubernur,” katanya.
“Mutasi ini sarat muatan pesanan politik, kita jangan membuat kegaduhan dari rencana mutasi ini. Sebaiknya Pj Gubernur Sumsel lebih konsentrasi dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan dan bukan membuat kegaduhan dalam keadaan suhu politik yang sedang tinggi,” katanya.
Chairul menambahkan, kepala daerah baik gubernur walikota dan bupati di seluruh Indonesia dilarang melakukan mutasi pegawai terhitung sejak tanggal 22 Maret 2024 hingga berakhirnya masa jabatan seorang kepala daerah.
Larangan tersebut tertuang dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, pada Pasal 71 Ayat 2, berbunyi Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri).
Dia meminta Pemprov Sumsel patuh terhadap aturan yang ada. Ia menegaskan, dalam surat Kemendagri disebutkan bahwa penetapan pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah pada 22 September 2024. Hal ini merujuk pada Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 2 Tahun 2024.
Dengan begitu, 6 bulan sebelum tanggal penetapan calon terhitung 22 Maret 2024. Berpedoman pada ketentuan tersebut, maka mulai 22 Maret 2024 sampai dengan akhir masa jabatan kepala daerah, dilarang melakukan pergantian pejabat kecuali mendapat izin tertulis dari Mendagri.
“Penetapan pasangan calon kepala daerah peserta pilkada untuk tahun 2024 yakni pada tanggal 22 September 2024. Dengan demikian larangan mutasi jabatan enam bulan itu terhitung berlaku sejak tanggal 22 Maret 2024,” paparnya.
Larangan mutasi ASN oleh kepala daerah dalam undang undang Pilkada itu lanjutnya, merupakan bentuk pencegahan politisasi ASN jelang pilkada serentak tahun 2024.
“Bagi kepala daerah petahana yang melanggar aturan tersebut bisa mendapatkan sanksi sebagaimana diatur dalam pasal 71 ayat 5 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 yakni KPU baik KPU Provinsi maupun KPU Kabupaten/Kota bisa membatalkan pencalonan kepala daerah petahana sebagai peserta pemilu,” katanya.
Kepala Daerah Dilarang Melakukan Mutasi
Anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI Lolly Suhenty mengatakan, kepala daerah yang melakukan mutasi pejabat Aparatur Sipil Negara (ASN) menjelang Pilkada Serentak 2024 terancam sanksi administrasi dan pidana.
Hal tersebut mengacu kepada Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yang berbunyi Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri.
“Itu pasti masuk dugaan pelanggaran yang sifatnya administrasi pemilu. Nanti kita cek lagi,” ujar Lolly dikutip dari Antara.
Adapun pada Pasal 190 menjelaskan bahwa pejabat yang melanggar ketentuan Pasal 71 ayat (2) atau Pasal 162 ayat (3) akan dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu bulan atau paling lama enam bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000 atau paling banyak Rp6.000.000.
Diketahui, Bawaslu telah mengirimkan surat kepada Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dengan nomor surat 438/PM/K1/03/2024 perihal imbauan.
Dalam surat tersebut disebutkan kepala daerah baik gubernur walikota dan bupati di seluruh Indonesia dilarang melakukan mutasi pegawai terhitung sejak tanggal 22 Maret 2024 hingga berakhirnya masa jabatan seorang kepala daerah.
Oleh karena itu, Lolly mengingatkan kepala daerah agar tidak melanggar ketentuan soal mutasi. Pasalnya, kondisi itu akan memberikan dampak yang sangat luas.
“Dan dalam konteks ini, tentu saja potensi dugaan pelanggaran administrasinya akan besar,” katanya.
Komentar